Kesalahan Seorang Content Marketing yang Patut Kamu Hindari

Kesalahan Seorang Content Marketing – Berani gagal artinya berani sukses. Mungkin kamu pernah mendengar ungkapan seperti ini. Memang, orang yang tidak pernah gagal sama sekali artinya ia tidak pernah mencoba melakukan hal baru. Bahkan mungkin tidak pernah mencoba melakukan apa-apa. Gagal adalah risiko, tapi dalam kegagalan itu pun ada pelajaran yang bisa kita ambil agar bisa lebih baik.
Kesalahan Seorang Content Marketing yang Patut Kamu Hindari
Selain belajar dari kegagalan diri sendiri, kita juga bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan orang lain. Terlebih dalam bidang ilmu yang terus berkembang seperti content marketing. Ann Gynn dari Content Marketing Institute mengumpulkan 24 jenis kesalahan yang pernah dilakukan oleh pelaku content marketing serta cara menghindarinya. Simak ulasannya di bawah ini.

Menulis tentang semua hal

Menulis tentang semua hal

Lisa Mattson dari Jordan Vineyard & Winery mencoba menunjukkan lewat blog betapa besar diversifikasi bisnisnya. Ia membuat tulisan tentang masakan, berkebun, bertani, desain flora, wisata, pembuatan anggur, konstruksi bangunan, hingga berita. Bukannya menarik banyak pengguna, variasi ini justru membuat mereka sulit mendapat audiens setia.
Solusi: Membagi blog menjadi dua. Satu blog khusus tentang pembuatan anggur, satu blog tentang makanan dan wisata.

Membuat konten yang tidak dibutuhkan orang

Membuat konten yang tidak dibutuhkan orang

Will Reynolds dari Seer Interactive pernah membuat konten tanpa mendengarkan permintaan konsumen. Ia juga tidak mencoba memanfaatkan search engine untuk mencari tahu apa yang diinginkan pasar.

Solusi: Jangan menulis konten kecuali dengan tujuan untuk membantu menyelesaikan masalah konsumen.

Tidak melakukan evaluasi


Jason Schemmel dari Harper Collins Christian Publishing dahulu sangat mementingkan jumlah konten di media sosial. Ia bertugas menangani lima brand berbeda, dan setiap hari harus membuat enam sampai delapan konten Facebook, tiga sampai empat konten Twitter, serta satu konten Instagram untuk tiap brand. Ia selalu dikejar target hingga tidak sempat mengevaluasi konten yang diterbitkan.
Solusi: Kurangi jumlah konten yang diterbitkan per hari, tapi luangkan waktu untuk memastikan bahwa konten tersebut benar-benar berkualitas dan menyentuh audiens secara mendalam.

Fokus pada kuantitas

Fokus pada kuantitas

Stoney deGeyter dari Pole Position Marketing mengakui bahwa membuat konten berkualitas itu lebih sulit daripada membuat konten yang banyak. Terkadang kita terbuai karena kuantitas dapat memberikan rasa berhasil, tapi keberhasilan itu sebenarnya semu.
Solusi: Fokus pada kualitas konten. Memang butuh waktu lama tapi hasilnya akan sebanding.

Mengincar viralitas

Mengincar viralitas

Chad Pollitt dari Native Advertising Institute berkata, “Tidak ada orang yang bisa membuat apa pun viral.” Terkadang viralitas berhasil, tapi terkadang juga tidak. Banyak faktor yang berpengaruh, dan salah satu yang terbesar adalah keberuntungan. Kamu tidak bisa bergantung pada keberuntungan.
Solusi: Jangan membuat konten dengan tujuan viral. Buatlah konten dengan tujuan bermanfaat.

Mengiyakan semua proyek

Mengiyakan semua proyek

Gordon Price Locke dari Pace menyatakan bahwa banyak perusahaan yang sering membuat proyek content marketing dengan bujet ketat. Hasilnya, kita tidak sempat melakukan pembelajaran, tidak bisa mencari strategi yang tepat, sementara perusahaan menuntut hasil terbaik.
Solusi: Bila suatu proyek tidak mungkin dikerjakan dengan baik, maka proyek itu tidak layak dikerjakan. Ketahuilah kapan harus berkata “tidak”.

Melenceng dari visi


Menurut Melanie Deziel dari Mdeziel Media, terkadang ada satu atau beberapa anggota tim yang memiliki KPI (key performance indicator) tersendiri dalam pikiran mereka. Tanpa diskusi yang jelas dengan tim, orang-orang ini bisa mengerjakan sesuatu yang menurut mereka hebat, tapi tidak sesuai tujuan tim keseluruhan.
Solusi: Sebelum memulai proyek, tentukan dulu apa tujuan yang ingin dicapai. Buat rancangan konten dan metrik kesuksesan sesuai tujuan tersebut supaya seluruh tim bekerja dengan arah yang sama.

Terpaku pada satu audiens


Chuck Hester dari T&T Creative melakukan kesalahan dalam menargetkan konten. Ia terlalu sering membagikan konten, serta selalu menyajikannya pada audiens yang sama. Ini bisa membuat audiens menjadi jenuh.
Solusi: Buat variasi tentang ke mana dan seberapa sering konten harus diterbitkan.

Menganggap semua penulis adalah expert 


Rebecca Lieb dari Conglomotron pernah berkata pada seorang profesor bahwa dirinya merasa tidak punya kualifikasi cukup untuk menulis sebuah topik. Alasannya adalah karena ia tidak bisa memberikan jawaban konkret tentang masalah yang dibahas.
Solusi: Profesor tersebut menjawab, daripada mengetahui semua jawaban, lebih penting untuk mengetahui apa yang harus ditanyakan.

Tidak melakukan promosi konten


Scott Berinato dari Harvard Business Review bukan content marketer, tapi ia pernah bekerja dengan tim untuk memasarkan buku yang ia tulis. Kesalahan terbesar yang ia lakukan adalah ia mengira bahwa dengan karya yang berkualitas, audiens akan datang dengan sendirinya. Ternyata tidak.

Solusi: Butuh kerja keras untuk membuat orang tahu akan karya tulismu.

Menyajikan semua ide sekaligus

Menyajikan semua ide sekaligus

Joy Acunzo dari Unthinkable suka berbicara akan ide-ide besar. Tapi langsung membicarakan soal ide besar pada orang lain belum tentu akan membuat pendengar langsung mempercayainya.
Solusi: Jelaskan dulu proses berpikir di belakangnya, baru kemudian tawarkan ide.

Meremehkan status quo

Meremehkan status quo

Sekitar lima belas tahun lalu, Kirk Cheyfitz dari Story Worldwide memprediksi bahwa iklan tradisional akan segera mati karena tidak sesuai dengan perkembangan era digital. Pada kenyataannya, butuh waktu lama sebelum iklan tradisional benar-benar tergeser. Sesuatu yang sudah menjadi status quo tidak akan pergi begitu saja tanpa perlawanan.
Solusi: Sediakan layanan untuk membantu transisi konsumen dari metode analog atau tradisional ke yang lebih modern.

Terlalu banyak mendengarkan konsumen


Riset berdasarkan keinginan konsumen akan menciptakan konten yang seperti barang dagangan. Bila kamu hanya merespons keinginan konsumen yang sudah jelas, tanpa menawarkan sesuatu yang berbeda dari para kompetitor, itu artinya kontenmu tidak punya kelebihan atau keunikan (selain logo perusahaan). Demikian yang dirasakan Tim Riesterer dari Corporate Visions.
Solusi: Ciptakan konten orisinal dan baru untuk menciptakan diferensiasi yang jelas dengan kompetitor. Masukkan unsur ketidakpastian dalam konten agar konsumen mempertanyakan pilihan lama mereka.

Terlalu percaya pada para ahli


Joakim Ditlev dari Content Marketing DK bercerita tentang satu hal yang sering menjadi penyebab kegagalan content marketing, yaitu kurang memahami pasar. Kita bisa melihat data dan meminta masukan dari berbagai perusahaan, tapi itu saja tidak cukup untuk menyusun strategi terbaik. Kita perlu berbicara langsung kepada para klien atau konsumen agar tahu apa yang dibutuhkan pasar.
Solusi: Bicaralah pada minimal dua klien berbeda sebelum memulai proyek. Bila tidak memungkinkan, lakukan survei terlebih dahulu.

Tidak punya batasan proyek yang jelas


Kamu yang sering mengerjakan proyek (dan sering gagal atau terlambat) mungkin mengenal istilah scope creep atau feature creep. Ini adalah kejadian di mana lingkup sebuah proyek membesar tak terkendali karena terus-menerus mendapat tambahan pekerjaan di luar rencana awal. Erika Heald dari Erika Heald Marketing Consulting pun mengalaminya.
Solusi: Buat rancangan lingkup kerja yang jelas dan komprehensif. Semua orang yang terlibat dalam proyek harus punya persetujuan akan deliverable, jadwal, indikator sukses, serta titik akhir proyek.

Menggunakan bahasa yang salah

Menggunakan bahasa yang salah

“Tantangan terbesar dalam diskusi internal kami datang dari kebingungan bahasa,” demikian cerita Ahave Leibtag dari AHA Media Group. Marketing memang salah satu bidang yang punya banyak jargon. Terkadang bahasa yang umum di kalangan konsumen bisa berbeda sekali dari bahasa korporat.
Solusi: Sebelum proyek dimulai, buat sebuah konsensus bahasa. Bandingkan antara hasil riset SEO, bahasa konsumen, dan bahasa yang digunakan para pakar atau stakeholder.

Lupa memikirkan audiens


Sama seperti kebanyakan penulis, Amanda Changuris dari BNY Mellon juga pernah membuat tulisan yang sangat ia sukai, tapi ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Mungkin kita menulis sesuatu yang kita sendiri ingin baca demi kepuasan pribadi. Padahal bukan itu tujuan content marketing.
Solusi: Buat tulisan untuk audiens, bukan untuk diri sendiri. Susun strategi berdasarkan data dan keinginan audiens.

Menerbitkan tulisan tanpa proofreading


Pernahkah kamu mengirim e-mail yang isinya masih ada salah tulis, atau masih berisi kalimat template dari sumber lain? Rasanya memalukan sekali, bukan? Bayangkan bila hal serupa terjadi, tapi dalam tulisan yang tidak dibaca hanya satu orang, melainkan jutaan orang.
Solusi: Zontee Hou dari Convince & Convert mengingatkan agar kita selalu mengecek berulang-ulang sebelum menekan tombol di editor email, blog, atau media sosial. Jangan sampai kamu menekan tombol publish di konten yang belum matang!

Mengabaikan artikel lama


Andy Crestodina dari Orbit Media menemukan bahwa artikel lama sering kali bisa memberikan hasil lebih baik daripada membuat artikel baru.
Solusi: Kunjungi artikel lama sesekali. Bila ada artikel evergreen yang relevan dengan kondisi sekarang, jangan ragu untuk memberi update dan “menyundul” artikel itu ke permukaan.

Hanya membuat konten tulisan

Hanya membuat konten tulisan

Srinivasa Raghavan dari Animaker dulunya menyajikan materi tentang teknik-teknik desain melalui berbagai artikel di blog. Pada awalnya, pengguna yang datang cukup banyak, namun mereka tidak berkembang. Hingga suatu hari, seorang guru bercerita bahwa murid-muridnya lebih suka belajar dari video animasi daripada membaca buku teks.
Solusi: Konten visual tidak hanya menarik untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa. Gunakan video atau GIF untuk menyajikan konten pada pengguna. Lakukan eksperimen dan inovasi tiap tahun, maka jumlah penggunamu akan melejit hingga sepuluh kali lipat.

Menganggap semua penulis adalah content marketer


Pelajaran yang mungkin cukup sulit diterima adalah bahwa tidak semua penulis yang baik bisa menjadi content marketer yang baik pula. Menarik dan meyakinkan pengguna untuk menggunakan brand tertentu sambil terus memberi manfaat secara konsisten adalah tugas yang berat, dan untuk melakukannya, butuh lebih dari sekadar kemampuan merangkai kata.
Solusi: Ketika merekrut calon content marketer, jangan hanya fokus pada contoh tulisan mereka. Tanyakan hal-hal spesifik saat wawancara, seperti wawasan mereka tentang audiens, conversion, serta teknik pemasaran secara luas. Itulah yang dilakukan Andrea Fryrear dari AgileSherpas.

Membuat keputusan berdasarkan asumsi


Saat pertama kali merintis usaha, Margaret Magnarelli dari Monster berasumsi bahwa mereka akan banyak membuat konten seputar pasar tenaga kerja. Tapi ternyata, dari hasil analitik, mereka menemukan bahwa para pengguna tidak peduli tentang hal-hal makro. Mereka lebih butuh informasi spesifik yang berhubungan dengan pencarian kerja.
Solusi: Setiap artikel (termasuk artikel berita) harus bisa menjawab sebuah pertanyaan: Apa manfaat yang bisa diambil pengguna darinya, dan aksi apa yang bisa serta mau pengguna lakukan dari artikel itu?

Menunggu kesempurnaan


Scott Lum bersama timnya di Microsoft tidak membuat strategi content marketing yang sempurna dari awal. Mereka tahu bahwa mereka ingin berinteraksi dengan calon konsumen, dan ingin membangun audiens. Tapi tidak lebih dari itu.
Di tahun pertama, metrik kesuksesan mereka adalah shareability konten. Tahun berikutnya, mereka fokus pada peningkatan kualitas dan distribusi. Baru pada tahun ketiga mereka bisa sukses dalam hal social selling serta lead generation.
Solusi: Memulai sekarang itu lebih baik daripada memulai dengan sempurna. Content marketing adalah proses pembelajaran dan sebuah evolusi. Jangan khawatir meski kamu tidak sempurna dari awal.

Meremehkan kekuatan e-mail


Kekuatan e-mail sebagai sarana membangun audiens terkadang diremehkan. Setidaknya itu yang pernah dilakukan Donna Moritz dari Socially Sorted. Padahal dengan e-mail, kita dapat melakukan segmentasi audiens serta mengetahui kebutuhan dan kesulitan mereka. Ini membuat kita bisa menggunakan strategi komunikasi dan pembuatan konten lebih spesifik.
Solusi: Berikan fokus lebih kuat pada para subscriber e-mail. Mereka adalah aset yang sangat berharga.
Bila kamu khawatir melakukan kesalahan saat content marketing, nasihat terbaik untukmu dari para pakar di atas bisa disimpulkan dalam dua kata: jangan takut.
Jangan takut mengambil risiko, sebab inovasi justru datang dari sana. Ajaklah audiens untuk mengambil risiko itu bersama-sama, kemudian lihat bagaimana mereka menjalin ikatan yang kuat dengan brand milikmu. Selamat bekerja!
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post